Kenaikan Bunga BI, Berimbas Ke Ekonomi Indonesia 2019 Dan Diperkirakan Hanya Sampai 5,1%
Rakyat Digital. Untuk kesekian kalinya, Bank Indonesia menaikkan suku bunga BI 7 Days Repo menjadi 6 persen pada Kamis pekan lalu. Kepala Ekonom Bank Mandiri Anton Gunawan mengatakan kenaikan bunga acuan BI akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi 2019 menjadi 5,1 persen, di bawah target pemerintah sebesar 5,3 persen.
Perlambatan tersebut disebabkan oleh investasi yang terbatas lantaran kenaikan bunga acuan BI. “Kami lihat ada tightening yang terjadi. Karena bunga acuan naik, ada dampak sedikit,” kata dia kepada katadata.co.id usai acara Indonesia Investment Conference & Exhibition 2018 di Ritz-Carlton, Jakarta, Rabu (21/11).
Ia memperkirakan likuiditas global akan berkurang sehingga mempengaruhi investasi asing alias foreign direct investment (FDI). Di sisi lain, upaya pemerintah menarik investor asing masih memerlukan masa transisi selama setengah tahun.
Sementara itu, konsumsi rumah tangga juga diperkirakan terpengarauh oleh kenaikan bunga acuan. Penurunan konsumsi disebabkan oleh kenaikan suku bunga kredit. Apalagi, Anton menilai upaya pemerintah dalam menekan impor dan meningkatkan ekspor belum maksimal. Hal ini turut memengaruhi capaian pertumbuhan tahun depan.
Walaupun, menurut dia, kenaikan bunga acuan BI sebanyak 170 basis poin sepanjang tahun ini belum berdampak sepenuhnya terhadap bunga kredit. “Biasanya ada lack, belum semua menaikkan lending rate. Tapi sebagian sudah,” ujarnya.
Setali tiga uang, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan kenaikan bunga acuan BI akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi tahun depan. Ia memperkirakan kenaikan kredit imbas dari kebijakan BI akan memotong pertumbuhan 2019 menjadi 5,1 persen, sesuai batas bawah proyeksi BI.
“Transmisinya ke KPR (kredit pemilikian rumah), kredit kendaraan motor mahal. Padahal backbone pertumbuhan ialah konsumsi rumah tangga,” kata dia. Meskipun, ia meyakini kenaikan bunga acuan tidak langsung berdampak pada kenaikan kredit tahun ini, tapi pada 3-5 bulan mendatang. Akibatnya, masyarakat akan menahan dan berhati-hati dalam belanja.
Selain kenaikan KPR, nilai properti bakal naik lantaran harga bahan bakunya meningkat. Di sisi lain, kredit konstruksi terkena dampak kenaikan bunga acuan. “Konsumen ambil KPR mahal walau ada Loan To Value (LTV),” ujarnya.
Sementara dari sisi usaha, kenaikan bunga acuan akan mempengaruhi kenaikan biaya produksi. Hal ini seiring kenaikan harga bahan baku untuk impor akibat fluktuasi rupiah dan kenaikan beban bunga utang. (Baca juga: Permintaan Melambat, BNI Belum Naikkan Suku Bunga KPR dan KKB).
Secara sektoral, usaha yang mengandalkan kredit perbankan besar ialah tekstil dan perkebunan, terutama sawit dan karet. Sektor tersebut membutuhkan kredit untuk memenuhi kebutuhan bahan baku. Lagi-lagi, bahan bakunya semakin mahal lantaran diperoleh dengan impor sehingga terkena dampak fluktuasi kurs.
Dari sisi investasi, Bhima mengatakan sebagian besar investasi menggunakan kredit. Dengan kenaikan bunga acuan BI, kredit investasi akan ikut terkerek. Kaitannya tak berhenti di sini. Pesta politik pada tahun depan diperkirakan menurunkan investasi. Para pemodal diperkirakan menahan dari menanamkan dananya lantaran menunggu kepastian politik.
Sejauh ini, penurunan investasi asing secara langsung (FDI) terjadi pada triwulan ketiga 2018. Jumlah penanam modal asing pada periode tersebut hanya Rp 89,1 triliun. Nilai ini anjlok 20,2 persen dibandingkan tahun lalu yang mencapai Rp 111,7 triliun. “Itu menjadi tanda bahwa mengandalkan investasi sebagai motor pertumbuhan agak susah,” ujarnya.
Sebelumnya, Bank Indonesia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi 2019 akan lebih rendah dibandingkan proyeksi sebelumnya yang sebesar 5,1-5,5 persen. Hal itu seiring kenaikan suku bunga acuan BI 7 Day Reverse Repo Rate yang sudah mencapai 175 basis poin sepanjang tahun ini. “Pasti berdampak pada pertumbuhan. Bunga semakin tinggi, kami memotong outlook 2019 menjadi kisaran yang lebih rendah,” kata Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo.
Perlambatan tersebut disebabkan oleh investasi yang terbatas lantaran kenaikan bunga acuan BI. “Kami lihat ada tightening yang terjadi. Karena bunga acuan naik, ada dampak sedikit,” kata dia kepada katadata.co.id usai acara Indonesia Investment Conference & Exhibition 2018 di Ritz-Carlton, Jakarta, Rabu (21/11).
Ia memperkirakan likuiditas global akan berkurang sehingga mempengaruhi investasi asing alias foreign direct investment (FDI). Di sisi lain, upaya pemerintah menarik investor asing masih memerlukan masa transisi selama setengah tahun.
Sementara itu, konsumsi rumah tangga juga diperkirakan terpengarauh oleh kenaikan bunga acuan. Penurunan konsumsi disebabkan oleh kenaikan suku bunga kredit. Apalagi, Anton menilai upaya pemerintah dalam menekan impor dan meningkatkan ekspor belum maksimal. Hal ini turut memengaruhi capaian pertumbuhan tahun depan.
Walaupun, menurut dia, kenaikan bunga acuan BI sebanyak 170 basis poin sepanjang tahun ini belum berdampak sepenuhnya terhadap bunga kredit. “Biasanya ada lack, belum semua menaikkan lending rate. Tapi sebagian sudah,” ujarnya.
Setali tiga uang, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan kenaikan bunga acuan BI akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi tahun depan. Ia memperkirakan kenaikan kredit imbas dari kebijakan BI akan memotong pertumbuhan 2019 menjadi 5,1 persen, sesuai batas bawah proyeksi BI.
“Transmisinya ke KPR (kredit pemilikian rumah), kredit kendaraan motor mahal. Padahal backbone pertumbuhan ialah konsumsi rumah tangga,” kata dia. Meskipun, ia meyakini kenaikan bunga acuan tidak langsung berdampak pada kenaikan kredit tahun ini, tapi pada 3-5 bulan mendatang. Akibatnya, masyarakat akan menahan dan berhati-hati dalam belanja.
Selain kenaikan KPR, nilai properti bakal naik lantaran harga bahan bakunya meningkat. Di sisi lain, kredit konstruksi terkena dampak kenaikan bunga acuan. “Konsumen ambil KPR mahal walau ada Loan To Value (LTV),” ujarnya.
Sementara dari sisi usaha, kenaikan bunga acuan akan mempengaruhi kenaikan biaya produksi. Hal ini seiring kenaikan harga bahan baku untuk impor akibat fluktuasi rupiah dan kenaikan beban bunga utang. (Baca juga: Permintaan Melambat, BNI Belum Naikkan Suku Bunga KPR dan KKB).
Secara sektoral, usaha yang mengandalkan kredit perbankan besar ialah tekstil dan perkebunan, terutama sawit dan karet. Sektor tersebut membutuhkan kredit untuk memenuhi kebutuhan bahan baku. Lagi-lagi, bahan bakunya semakin mahal lantaran diperoleh dengan impor sehingga terkena dampak fluktuasi kurs.
Dari sisi investasi, Bhima mengatakan sebagian besar investasi menggunakan kredit. Dengan kenaikan bunga acuan BI, kredit investasi akan ikut terkerek. Kaitannya tak berhenti di sini. Pesta politik pada tahun depan diperkirakan menurunkan investasi. Para pemodal diperkirakan menahan dari menanamkan dananya lantaran menunggu kepastian politik.
Sejauh ini, penurunan investasi asing secara langsung (FDI) terjadi pada triwulan ketiga 2018. Jumlah penanam modal asing pada periode tersebut hanya Rp 89,1 triliun. Nilai ini anjlok 20,2 persen dibandingkan tahun lalu yang mencapai Rp 111,7 triliun. “Itu menjadi tanda bahwa mengandalkan investasi sebagai motor pertumbuhan agak susah,” ujarnya.
Sebelumnya, Bank Indonesia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi 2019 akan lebih rendah dibandingkan proyeksi sebelumnya yang sebesar 5,1-5,5 persen. Hal itu seiring kenaikan suku bunga acuan BI 7 Day Reverse Repo Rate yang sudah mencapai 175 basis poin sepanjang tahun ini. “Pasti berdampak pada pertumbuhan. Bunga semakin tinggi, kami memotong outlook 2019 menjadi kisaran yang lebih rendah,” kata Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo.
Komentar
Posting Komentar